Tak hanya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, saat ini cukup banyak pihak yang berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan, termasuk memberdayakan dan mengolah hasil alam dengan cara ramah lingkungan.
Simpur merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jabiren Raya, Kalimantan Tengah. Masyarakat Desa Simpur memahami dengan benar tentang dampak pembukaan lahan dengan cara bakar yang banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan sekitar, terutama untuk wilayah gambut.
Awalnya masyarakat cukup keberatan dengan peraturan pemerintah yang menerapkan sistem pembukaan lahan tanpa bakar. Menurut mereka membuka lahan dengan cara tanpa bakar butuh biaya dan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan cara membakar.
Banyak masyarakat yang dulunya menggantungkan hidupnya dari bertani mulai mundur pelan-pelan meninggalkan aktivitas tersebut. Mereka beralih mencari peningkatan ekonomi lain untuk keluarga mereka, seperti menoreh getah dan mencari rotan di sekitar rawa gambut.
Lalu, mereka mengolahnya menjadi bahan mentah dan setengah jadi, berkebun buah-buahan dan mencari kayu galam untuk mencukupi tingkat perekonomian keluarga.
Di balik peraturan larangan pembukaan lahan dengan cara bakar, pemerintah juga memberikan solusi bagi masyarakat yang masih ingin bertani yaitu dengan menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) banyak program-program dari pemerintah yang mengaungkan tentang metode PLTB. Salah satunya program BRG yang lebih fokus penerapan PLTB di kawasan lahan gambut.
Masyarakat Simpur yang masuk dalam kawasan gambut mulai merasa optimis dengan keberhasilan metode PLTB ini ditambah lagi dengan adanya bukti nyata tentang desa-desa yang sudah mampu menerapkan metode PLTB sehingga petani Desa Simpur mulai terdorong untuk kembali bertani.
Feri, salah satu petani Desa Simpur mengatakan bahwa memulai pengolahan lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati, dibandingkan dengan cara modern cara manual akan lebih baik.
Menurut Feri cara manual yang dilakukan adalah dengan cara mencabut pohon yang ada, kemudian meratakan tanahnya. Setelah rata barulah dilakukan pembajakan.
"Kalau tanah digali terlalu dalam, akan membuat kadar asam naik tinggi, hasilnya tanaman tak akan tumbuh. Itu yang terjadi kalau pakai alat berat makanya lebih baik dengan cara manual," jelasnya.
Para petani di Desa Simpur menyadari, memang menerapkan PLTB dengan cara manual membutuhkan waktu yang lama. Terlebih masih banyak anggapan, PLTB dengan cara manual tidak praktis. Namun bagi mereka itu adalah risiko yang akan membuahkan hasil nantinya jika dikelola dengan baik.
Jum'at (9/11) hampir semua masyarakat desa simpur sudah mulai membersihkan lahan mereka untuk persiapan melakukan penanaman padi mayas/tokong.
Dalam pemberian pupuk masyarakat Desa Simpur akan menggunakan pupuk organik dan pestisida organik sebagai salah satu penetral tanah nantinya. Optimisme masyarakat Simpur ini semoga menjadi hasil yang baik untuk kemajuan desa.